Pemprov Bengkulu Dikritik atas Minimnya Keterlibatan Komunitas dalam Tradisi Tabut

0
26
Festival Tabut Bengkulu. (Estom.id)

Bengkulu, Estom.id – Ketua Komunitas Keluarga Kerukunan Tabut (KKT) Bencoolen, Achmad Syafril, menyuarakan keprihatinannya terhadap sikap pemerintah yang dinilai kurang berpihak pada pelestarian budaya lokal, khususnya dalam penyelenggaraan tradisi Tabut dan pasar rakyat yang menyertainya. Ia menilai, pemerintah seolah-olah menghambat partisipasi komunitas budaya dalam mengelola ruang budaya mereka sendiri.

“Kami tidak meminta dana dari pemerintah. Yang kami butuhkan hanyalah izin untuk mengelola ruang budaya ini secara mandiri,” tegas Syafril dalam keterangannya. Ia menyoroti bahwa selama ini masyarakat lokal, khususnya keluarga pelestari tradisi Tabut, kerap dimarginalkan dan tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan terkait tradisi yang merupakan bagian penting dari identitas mereka.

Tradisi Tabut yang rutin digelar setiap tahun di Bengkulu telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda oleh pemerintah pusat. Namun, menurut Syafril, semangat pelestarian budaya tersebut tidak tercermin dalam tindakan pemerintah daerah yang justru membatasi ruang gerak komunitas adat.

“Dulu pemerintah pernah mendukung secara maksimal, seperti tahun 2019 lalu saat anggaran pelaksanaan Tabut mencapai ratusan juta rupiah. Tapi tahun ini hanya tersedia Rp90 juta, dan itu jelas tidak mencukupi untuk mengakomodasi seluruh kegiatan budaya yang melibatkan banyak elemen masyarakat,” ujarnya.

Ia menambahkan, meskipun dukungan finansial dari pemerintah terus menurun, semangat komunitas untuk melestarikan budaya tetap tinggi. Karena itu, KKT Bencoolen memilih untuk menolak dana bantuan tersebut, dan meminta agar pelaksanaan tradisi Tabut dikembalikan sepenuhnya kepada pihak keluarga dan komunitas adat yang berasal dari garis keturunan pembawa tradisi tersebut.

Lebih lanjut, Syafril menekankan bahwa pengelolaan tradisi budaya secara mandiri oleh komunitas bukan hanya soal perayaan tahunan, tetapi mencerminkan bagaimana negara memperlakukan budaya dan pelakunya sebagai bagian penting dari keberlanjutan bangsa. Ia menyebut bahwa tradisi seperti Tabut memiliki potensi besar untuk dikembangkan sebagai daya tarik wisata yang otentik dan berkelanjutan.

“Hal ini sudah diatur dalam Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nomor 9 Tahun 2021 tentang destinasi pariwisata berkelanjutan. Di situ jelas disebutkan bahwa keberlanjutan budaya dan sosial merupakan bagian dari pengembangan pariwisata,” ungkapnya.

Ia juga menyoroti sejumlah regulasi nasional yang mendukung pelibatan komunitas budaya, seperti Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 87 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Pemajuan Kebudayaan, serta PP Nomor 56 Tahun 1962 tentang Perlindungan Kekayaan Intelektual Komunal.

Dengan berbagai regulasi yang ada, menurutnya pemerintah seharusnya memfasilitasi peran aktif komunitas budaya, bukan sebaliknya membatasi atau mengabaikan mereka. Komunitas KKT Bencoolen, lanjutnya, memiliki kapasitas dan pengalaman untuk mengelola perayaan Tabut tanpa harus bergantung pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

“Kami hanya ingin diberikan ruang. Bukan hanya ruang fisik, tapi juga ruang pengambilan keputusan. Ini bukan soal uang. Ini soal harga diri dan kelangsungan budaya,” pungkas Syafril.

Pewarta: Restu Edi
Editor : Desty Dwi Fitria
COPYRIGHT © ESTOM 2025